SALAHKAH, JIKA AKU ‘BEDA’ (Full)

SALAHKAH, JIKA AKU ‘BEDA’
In Memorian Yudis (4 November 2012, 20.30)
By : Harjanto dc

“Dwi, Yudis meninggal.”

Sepatah kata salah seorang teman kerjaku seperti peluru yang memberondong jiwaku. Anak manja yang baru dua hari yang lalu mulai baikan, sekarang dikabarkan kembali ke pemilik hidup. Aku masih belum bisa percaya sepenuhnya. Aku mencoba untuk tetap bertahan dengan keyakinanku, bahwa Yudis masih ada di kamar MWB2.

Aku memang baru mengenalnya beberapa hari yang lalu. Rasa penasaran akan sikap dan celoteh rekan kerjaku. Pasien dewasa, akan tetapi rewel ketika diambil darahnya.

Kebetulan ataukan takdir. Siang itu aku yang giliran keliling bangsal, dan mengambil rute pertama. Melewati lift melaju ke lantai tiga, bangsal ZIII, turun satu tangga sampai di ZII, lurus ke arah barat melewati bangsal SH, terus turun satu tangga lagi sampailah di bangsal MN, dan belok kiri terlihat bangsal MW, mampir dan bertanya kepada perawat.

“Ada tambahan bon?” tanyaku sembari memberikan hasil laboratorium yang sudah selesai.

“Tidak ada.” Jawab perawat yang berjaga dibangsal itu.

“MWB2 sudah diambil?” Potong perawat yang lainnya.

“Belum, ini baru mau ngambil.” Jawabku sambil garuk-garuk kepala yang tak terasa gatal.

“Ayo, tak temani, ini pasien istimewa.” Pinta perawat perempuan yang lain.

“Istimewa bagaimana?” Penasaranku kian meledak.

“Dia pasien RM.” Perawat menerangkan Sambil jalan ke ruang MWB2.

“RM. Apa itu?” sedikit mengeryitkan dahi, dan garuk-garuk kepala lagi.

“Keterbelakangan mental.” Jawabnya singkat.

Aku menarik nafas dalam-dalam, berharap berhasil mengambilnya. Terkadang pasien normal saja sulit, apalagi pasien hiper. Sampai juga di depan pintu kamar MWB2, terpampang papan segi empat dengan identitas nama : Yudis, usia : 34 tahun, dokter PJ : dr. S, serta alamat : Klaten.

Tiga Puluh Empat tahun, pikirku tidak akan sulit, namun tetap ada keraguan dalam hatiku, bersahut-sahutan antara yakin dan tidak. Perawat mendorong pintu itu, sembari berucap salam. Aku buka mataku lebar-lebar. Tepat dihadapanku, sosok tubuh besar, berkulit putih, berkumis serta sedikit berewok, dan sesekali tersenyum.

“Assalamu’alaikum, kabarnya gimana mas Yudis?” Sapa manis perwat yang menemaniku.

Sebuah senyuman manis terlempar dari wajahnya yang sedikit memerah. Deman berdarah yang menyerangnya beberapa waktu yang lalu hingga saat ini menyisakan bercak-bercak merah di seluruh tubuhnya.

“Disuntik dulu ya!” Pintaku dengan lembut.

Kebiasaan, nervous ketika sampling ditemani orang lain. Khawatir antara yakin dan tidak yakin terus bergemuruh di kepalaku.

“Iiiya.” Jawab Yudis terbata-bata.

Sambil bicara apa aja, yang penting membuat suasana hatiku dan hati Yudis tenang, agar bisa mendapatkan sampel untuk diperiksa. Alhamdulillah, ucapku lirih. Akhirnya tanpa perlawanan hebat mendapatkan darah untuk diperiksa.

Darah dimasukan ke dalam tabung EDTA (anticoagulan/antibeku) agar tidak membeku. Tiba-tiba Yudis bangun dari tempat tidurnya dengan gerakan yang tidak lazim. Biasa orang bangun dari posisi tidur ke duduk dengan tumpuan tangan pelan-pelan, tapi tidak untuk Yudis, dia menggerakan tubuhnya untuk bergeser dan pindah posisi dengan tenaga penuh hingga nafasnya hampir ngos-ngosan. Dalam hati aku berpikir dia ingin ngamuk.

Aku pun pamit bersamaan dengan perawat yang menemani tadi. Masih ada dua bangsal lagi yang harus dilewati, lurus ke timur sampai di bangsal SF, dan belok kiri sampai bangsal terakhir, bangsal JR/ICU. Segera kembali ke Laboratorium, untuk pemeriksaan sampel.
***

“Dapat sampelnya Yudis nggak?” Selidik beberapa rekan kerjaku.

Mereka penasaran, aku yang notabene-nya anak baru, seringkali mengambil pasien normal saja kadang meleset, apalagi ini seorang pasien spesial.

“Bisa. Dia diam.” Jawabku datar, seolah Yudis adalah layaknya pasien-pasien normal yang lain.

“Masa! Nggak mungkin.” Celoteh teman yang lain.

“Iya. Yudis diam. Nurut lagi.” Balasku meyakinkan mereka.

Dalam hati aku bicara sendiri, sebenarnya ada rasa takut, khawatir, sayang dan rasa-rasa yang lain melihat Yudis dengan keistimewaanya. Orang-orang dengan Retardasi Mental, tak seharusnya dijauhi. Retardasi Mental bukanlah suatu penyakit walaupun merupakan proses patologik dalam otak yang memberikan gambaran keterbatasan intelektualitas dan fungsi adaptif. Pada dasarnya mereka sama seperti kita, mempunyai emosi, perasaan, kasih sayang dan lain sebagainya. Namun, memang walaupun usianya dewasa namun perilaku mereka layaknya anak-anak yang suka bermain.

Yudis memiliki keluarga yang sangat menyayanginya dengan segala keistimewaannya. Yudis anak paling tua dari dua bersaudara. Seorang Ibu yang sangat sabar dan penuh perhatian dengan rizki seorang Yudis yang diberikan Allah untuk dididiknya. Setiap hari bergantian yang menunggu, Ibu, ayah, sepupu, dan yang paling Yudis tunggu adalah sosok adik yang teramat dia sayang. Adiknya bekerja sebagai desain produk di Jakarta.

Yudis dirawat dengan diagnosa DHF (DENGUE HEMORRHAGIC FEVER) atau biasa disebut demam berdarah. Demam Berdarah Dengue adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue terutama menyerang anak-anak dengan ciri-ciri demam tinggi mendadak, disertai manifestasi perdarahan dan berpotensi menimbulkan renjatan/syok dan kematian (DEPKES. RI, 1992).

Yudis memiliki fisik yang kuat, kebanyakan dari penderita penyakit ini biasanya lemas, bergerak saja sakit apalagi disuntik, untuk diambil darah. Tapi tidak untuk Yudis, aktifnya luar biasa hebat. Perawat bangsal saja seringkali kuwalahan menghadapi keaktifannya, namun ada beberapa perawat cocok yang dapat mengambil hati Yudis.

Hari berikutnya, Yudis tidak mau diambil darah oleh rekan kerjaku. Padahal kemarin sudah janji padaku.

“Yudis janji ya! mau diambil teman adik.” Pintaku dengan lembut.

“Ya…ya…ya….” dengan menggerak-gerakkan kepalanya.

Yudis selalu melakukan pengulangan kata ketika berbicara.

Sewaktu mengambil darahnya, aku sedikit kesal karena sikapnya, nada bicarapun sedikit meninggi saat bicara padanya.

“Yudis kenapa ingkar janji? Tidak mau diambil teman adik?”

Yudis hanya diam, dengan nafas yang tak beraturan. Sepupunya hanya melihat dan mendengar apa yang kami bicarakan. Saat aku pegang tangan kirinya, tiba-tiba Yudis bertingkah aneh. Yudis yang biasanya nurut menjadi brutal, menepuk-nepuk dadanya dengan tangan kanan dan mengacungkan tangan kiri serta menjejalkan kakinya kepadaku, yang posisi saat itu berada di sebelah kaki kirinya. Gerakan itu layaknya seorang jagoan yang hendak berkelahi. Melihatku sebagai sosok musuh.

Karena terbiasa menghadapi anak kecil, bukan marah yang aku lakukan padanya. Sepupunya aku suruh keluar. Aku minta maaf padanya. Aku tersadar, apa yang membuatnya marah dan merasa dianiaya. Nada bicara sedikit tinggi tidak disukai olehnya. Kasih sayang dan menjadikan dia temanlah yang dibutuhkan oleh Yudis.

“Adek minta maaf Yudis!” Tangan kananku ulurkan padanya.

“Kita teman, ingat kan?” Terus bicara meyakinkan hatinya kembali.

Akhirnya dia pun mulai reda saat kata-kata sayang aku berondong kepadanya, dan mau diambil darahnya. Aku masih ingat saat bertanya pada Ibunya, ditengah-tengah kesibukanku mengambil darah Yudis beberapa waktu lalu.

“Yudis punya teman di rumah, Ibu?” Kulit yang mulai melipat-lipat itu menampakkan kesedihannya.

“Andai saja ada yang mau berteman, Ibu akan sangat berterimakasih kepadanya.” Sepotong kalimat harapan seorang Ibu, yang sangat menyentuh hatiku.

Ingin sekali kalau sudah sembuh, aku bermain dengan Yudis, bukan karena kata-kata Ibu, tapi dari awal bertemu aku menyukai anak ini. Seperti aku menyayangi anak salah satu Guruku yang sangatku rindukan keberadaannya “IQRA”.
***

“Orang-orang Oligofrenia (Tuna Mental) bukan untuk dijauhi, tapi untuk disayang, karena mereka membutuhkan kasih sayang seperti layaknya orang yang normal.” (Harjanto DC, 2012)
***

“Kak, Yudis mau mandi!

Keadaan Yudis sedikit ada kemajuan. Bicaranya pun sedikit jelas dari hari-hari kemarin. Semalam juga bisa bangun, berdiri minum jus jambu sendiri.

“Iya, dik Yudis.” Jawab sepupu yang semalam jaga dia.

Hari ini aku jadwal jaga malam, sehingga setelah sholat subuh jadwal keliling bangsal, dan aku mendapatkan rute 1 dari 3 rute yang ada (Malam : 3 rute, pagi dan siang 2 rute). Rute itu pun melewati MWB2 kamar dimana Yudis dirawat.

“Assalamu’alaikum kakak.” Aku buat suara melengking seperti anak-anak untuk menarik perhatiaannya.
Pada dasarnya Yudis berperilaku layaknya anak-anak. Nah, bagaimana mendapatkan hatinya adalah dengan menjadikan kita seperti dirinya.

“Wa’alaikumusalam.” Kali ini jawaban Yudis jelas sekali, berbeda dari hari kemarin.

“Kok tidak pakai Pampers?”

“Yudis, habis mandi.” Jawab sepupunya membenarkan.

“Udah bisa mandi sendiri ya?” Celotehku memujinya.

“Tolong Pampers ya! Tolong. Maaf.” Baru kali ini Yudis meminta tolong padaku.

Aku letakkan semua peralatan laboratorium, mencari pampers ukuran jumbo yang ada di bawah meja. Sesekali aku arahkan dengan isyarat, dan Yudis pun nurut. Namun, tanpa sadar aku ambil nafas dalam, karena merasa ada bau yang menyengat.

“Pergi! Pergi! Yudis nggak mau. Pergi!” Tiba-tiba Yudis teriak-teriak ingin aku pergi dari hadapannya.

Kali ini berbeda dengan hari kemarin saat nada bicaraku meninggi. Ini lebih dari sekedar rasa. Kalau orang seperti Yudis memiliki tingkat sensitif yang luar biasa, walau pun hanya dari gerak tubuh orang normal.

“Kenapa Yudis. Adik minta maaf.” Mencoba menormalkan suasana.

“Nggak…Nggaaak….” Suaranya mulai terbata-bata lagi.

Tiba-tiba Yudis bangun dari posisi tidurnya dan duduk sedikit menjauh dariku. Aku sedikit kuwalahan menghadapi sikapnya kali ini. Aku mencoba meminta maaf seperti biasa ketika dia marah padaku. Aku suruh sepupunya keluar, agar suasana lebih tenang. Aku coba ulurkan tangan kananku untuk minta maaf. Tapi, dia lipat kedua telapak tangannya, dan menyuruhku pergi, keluar dari kamarnya.

Kali ini aku kalah menghadapinya, sampel darah pun belum dapat. Aku pun melangkahkan kakiku keluar dari ruang MWB2. Sampai di depan pintu ku lihat sosok seorang yang sangat mencintai Yudis, selalu berharap Yudis segera sembuh dan kembali ke rumah. Tak hanya Ibu, di depan pun ada bapak.

“Sudah dapat dik Dwi?” Spontan pertanyaan itu menjurus ke telingaku.

“Belum Ibu. Dwi kalah.” Aku coba jelaskan yang terjadi pagi ini kepada ibu.

Kasih sayang dan perlakuan khusus adalah hal yang harus senantiasa diberikan pada Yudis. Sama seperti orang normal, hanya saja dosisnya lebih besar.

“Trus, diambil kapan?”

“Nanti sebelum aku pulang, dicoba lagi. Semoga sudah baikan.” Jawabku dengan sedikit kekecewaan.
Pagi ini aku kalah menghadapinya. Namun, ada sebuah pelajaran luar biasa yang aku dapatkan dari kejadian ini. Perasaan, emosi dan kasih sayang. Tidaklah kita membenci orang-orang yang memiliki keterbelakangan mental, tapi sayangilah mereka. Apa salahnya mereka beda? Mereka juga perlu dicintai dan disayang layaknya orang normal.

Seperti janjiku pada Ibu, dan kecewa atas kekalahanku dengan Yudis. Aku pun kembali untuk mengambil darah Yudis. Karena kondisinya Yudis harus monitoring Trombosit setiap 6 jam sekali.

Agak siang keadaannya sudah lumayan membaik, dan mau memaafkan aku atas kejadian tadi pagi. Sampel darah pun aku dapatkan.

“Kita temenan lagi ya!” Pintaku.

“Ya…Ya…Yaa…. Sudah. Pulang!” Seolah dia mengusirku.

Aku pun keluar dari ruang MWB2 dengan senang serta sedih. Aku akan libur 2 hari, meninggalkan kejenuhan aktivitas kerjaan, dan pastinya khawatir dengan Yudis. Siapa yang akan mampu mengendalikan keadaannya. Namun, tetap optimis, yakin temen-temen semua lebih pengalaman dari pada aku yang baru bekerja di rumah sakit.
***

5 thoughts on “SALAHKAH, JIKA AKU ‘BEDA’ (Full)

  1. Pingback: Mutiara Cintaku | mutiaramutiaracinta

Leave a comment